BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 18 Juni 2009

POLITIK ala NAHDLATUL ULAMA’

Nahdlatul ulama’ (NU) adalah organisasi sosial kemasyarakatan yang besar dan sudah tidak muda lagi, NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Radjab 1344 H) dalam sebuah rapat di Surabaya yang dihadiri oleh K.H Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syamsuri, KH Ridwan, KH Nawawi, KH.Doromuntaha (menantu KH,Cholil Bangkalan) dan banyak Kiai lainya. Rapat itu memutuskan dua hal : Pertama, mengirim komite ke Makkah untuk memperjuangkan hukum-hukum madzhab empat (kepada pemerintahan baru Kerajaan Saudi yang dipegang oleh klompok Wahabi) yang dalam sejarah disebut Komite Hijaz dan kedua mendirikan jama’ah NO (Nahdlatoel Oelama) dengan komitmen awal menjadi gerakan sosial - keagamaan, yang kalau kita hitung sampai dengan tanggal 31 Januari 2009 maka umur NU sebagai organisasi sudah mencapai 82 tahun, yang anggotanya tersebar sampai kepelosok tanah air, dan mengakar di masyarakat.
Namun prestasi Nahdlatul Ulama’ tidak sebanding dengan jumlah masa yang begitu besar dan dalam kehidupan sosial politik Nahdlatul Ulama’ selalu menjadi pihak yang kurang beruntung.
Sejarah mencatat bagimana NU berbangga diri karena kader terbaiknya di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini pernah menjadi seorang Presiden, namun yang menjadi pertanyaan penulis dan belum menemukan jawaban adalah “Apakah pada waktu KH Abdurrahman Wahid/Abdurahman Ad Dakhil (Gus Dur) menjadi Presiden adalah memang sebuah prestasi politik NU atau hanya merupakan “kecelakaan sejarah” saja ?
Kalau kita menengok kebelakang maka akan nampak NU selalu kalah dalam alam berpolitik, bagaimana NU keluar dari Masyumi karena kecewa, begitu juga keluar dari PPP karena kecewa, pada era reformasi NU mendirikan partai sendiri, namun hasilnya juga mengecewakan. Selain PKB ada PKNU dan Partai Suni, namun hanya PKB yang bisa bertahan.
Ketika PKB masih bisa bertahan, partai ini pecah dengan lahirlah PEKADE yang dimotori oleh Matori Abdul Jalil karena kecewa dengan PKB. Disaat PKB masih bertahan, partai ini pecah lagi dengan lahirnya PKNU yang dimotori Cak Anam dan Alwi Shihab yang juga kecewa dengan PKB, semua berakhir dengan kekecewaan karena berakhir dengan kekalahan. NU hanya Untuk mengurus diri sendiri saja ternyata masih terhuyung-huyung. (NU dan Neo Liberalisme, LKIS, Nur Kholiq Ridwan)
Dalam pandangan Mbah Muchid (K.H. Abdul Muchid Muzadi) politik adalah sebuah kegiatan yang sarat makna, dari makna paling luas hingga paling sempit, dari yang paling umum hingga yang paling khusus, yang pada dasarnya merujuk pada hal-hal yang bersifat kekuasaan, kenegaraan dan kepemerintahan.
Biasannya politik diartikan sebagai gerakan menuju kekuasaan dalam rangka mengambil bagian dalam suatu pemerintahan atau penyelenggaraan suatu negara seperti misalnya menjadi angggota legislatif, yudikatif, eksekutif. Dan biasanya para kiai-kiai yang dijadikan pendukung bohong-bohongan untuk suatu tindakan politik.
Sebagai makhluk politik, sebagain warga NU sering bermain politik, sayangnya sebagaian mereka memainkan kiprah politik semata-mata untuk merebut kue politik (kekuasaan) bukan kiprah yang sesuai dengan garis politik Nahdlatul Ulama’ .
Politik yang dimainkan oleh NU adalah politik kebangsaan yang bernuansa Islam. Artinya tindakan, sikap, cita-cita dan perjuangan politik warga NU harus bernafaskan al-akhlaqul al-karimah.
Gus Dur pernah berucap bahwa pasca khittah, NU harus meninggalkan wilayah politik praktis seraya memasuki wilayah yang ia sebut unpolitical politics oleh Amien Rais disebut High politics yakni suatu kiprah politik yang bermain diluar panggung negara. Warga NU harus dapat mengendalikan diri dan tidak boleh menjadi rakus apabila melihat kue politik. Artinya, warga NU tidak boleh bertindak berlebihan, atau lebih mementingkan kepentingannya sendiri ketimbang kepentingan bangsa
Selanjutnya, politik bagi warga NU bukan sesuatu yang Qoth’i bukan sesuatu yang abadi, pilihan politik NU bisa berubah kapan saja. Artinya NU harus senantiasa memperhatikan dan meperhitungkan kepentingan perjuangan sendiri, yang senantiasa diingat bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan yang mandiri, tidak menjadi bagian dari organisasi lain, baik organisasi politik maupun organisasi kemasyarakatan sebagaimana tercantum dalam Naskah Kitthah NU pada butir 8 aline 5 yang berbunyi “Nahdlatul Ulama’ sebagai organisasi jam’iyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga”.
Kalimat tersebut harus dikaitkan dengan alinea berikutnya yang berbunyi “setiap warga Nahdlatul Ulama’ adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang. Didalam warga Nahdlatul Ulama’ menggunakan hak-hak politiknya harus dilakukan secara bertanggungjawab sehuingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis,konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam memecahkan permasalahn yang dihadapi bersama”
(Menjadi NU menjadi Indonesia,Ayu Sutarto, khalista surabaya,2008)
Apabila beberapa waktu yang lalu terkesan seakan-akan NU melakukan perbuatan politik dengan mempertahankan jabatan kepresidenan Gus Dur, maka sesungguhnya yang dipertahankan NU adalah tegaknya kebenaran, keadilan, bukan pribadi Gus Dur .
Dalam pandangan Mbah Muchid gerakan untuk menjatuhkan Gus Dur pada sidang istimewa MPR 2001 adalah gerakan yang tidak adil dan tidak benar. Terbukti apa yang dilakukan terhadap Gus Dur tidak dilakukan terhadap orang lain. NU berjuang untuk membangun budaya dan sistem politik yang sehat, demokratis, berakhlak dan berkeadilan. .(Menjadi NU menjadi Indonesia,Ayu Sutarto, khalista surabaya,2008)

Dalam Muktamar NU XVIII di Krapyak Yogyakarta tahun 1989 menghasilkan sembilan pokok pedoman politik warga NU antara lain adalah :
1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama’ mengadung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama’ adalah poitik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan bathin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
3. Politik bagi Nahdlatul Ulama’ pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama’ haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, Ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama’ haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6. Berpolitik bagai Nahdlatul Ulama’ dilakukan untuk memperkokoh konsesus-konsesus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Ahlusunnah waljama’ah.
7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama’ dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
8. Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga didalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan Nahdlatul Ulama’.
9. Berpolitik bagi Nahdaltul Ulama’ menuntut adanya komunikasi masyarakat timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perekembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyatukan aspirasi dalam pembangunan (www.PBNU.org.id)
NU tidak anti politik dan tidak mengharamkan politik bahkan mendorong warganya untuk memilih kesadaran politik dan menghargai warganya yang berpolitik. Asalkan dilakukan untuk kepentingan bangsa, negara dan masyarakat serta dilandasi al-akhlaqul al-karimah atau budi pekerti yang luhur.
Berpolitik untuk “kepentingan jangka pendek “, kepentingan diri sendiri atau kepentingan kelompok dengan melupakan kepentingan bangsa merupakan tindakan yang keblinger “salah jalan” dan akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Perlu kita sadari bersama bahwa kita menjadi orang NU adalah untuk ndandani awak bukan untuk rebutan iwak ”berebut rezeki” ini merupakan kearifan yang harus dipegang teguh oleh warga NU.
Dan perlu diingat kembali bahwa janganlah kita hanya berkutat permasalahan politik saja, apalagi saat ini menjelang PILPRES yang sudah barang tentu warga NU akan menjadi rebutan para Capres dan Cawapres, harapan kita bersama para elit NU (Ranting NU, MWC, PCNU, PWNU, PBNU) jangan terlalu euforia dengan kebebasan berpolitik yang kadang membingungkan umat akan sikap mereka dan melupakan tujuan yang luhur NU.
NU mempunyai dua kekuatan dalam dirinya, yakni kekuatan jamiyah dan kekuatan jama’ah, merupakan kelebihan yang dimiliki oleh organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Kelebihan ini akan menjadi kekuatan yang dahsyat, asalkan dikelola secara terarah, terpadu dan terjaga. NU jama’ah dan NU jamiyah adalah two in one, tak terpisahkan. NU jamaah tanpa NU jamiyah hanya akan menjadikan NU sebagai sebuah paguyuban seperti arisan atau rukun kematian. Sebaliknya, NU jamiyah tanpa NU jamaah hanya akan menjadikan NU sebagai organisasi yang kering tidak berakar dimasyarakat. Agar NU menjadi besar dan berwibawa, kedua-duanya tidak boleh bertabrakan atau berselisih jalan.
Masih banyak hal yang harus digarap dan lebih penting bagaimana mutu pendidikan dilembaga-lembaga NU yang masih jauh dari tuntutan zaman yang perlu ditingkatkan, kemiskinan yang mayoritas adalah warga kita, tingkat putus belajar yang luar biasa karena mahalnya biaya belajar dan terbatasnya kemampuan ekonomi masyarakat, kebodohan keterbelakangan yang penulis fikir merupakan hal yang tidak boleh dilupakan yang harus segera diselesaikan.
Disamping hal-hal tersebut diatas yang perlu menjadi renungan semua warga Nadliyin dan harus secepatnya untuk ditanggapi dan mengambil langkah yang tepat adalah
Pertama Globalisasi Neoliberal yang telah mengubah dan mengendalikan tata Dunia baru. Kedua, munculnya klompok-klompok Islam yang berjenis lain dari NU yang gencar masuk kedaerah-kedaerah jantung NU, fundamentalis yang justru merubah citra Islam berwajah menakutkan dan mengerikan yang jauh dari agama rahmatan lil ‘alamin.


MASAIL

Wiridan Usai Sholat
21/06/2007
Wiridan itu maksudnya membaca bacaan tertentu setelah shalat. Jika dikumpulan semuanya ada puluhan macam. Tapi kalimat pokoknya hampir sama. Tentu ada lafadl:
سُبْحَانَ اللهُ, الحَمْدُ ِللهِ, اللهُ أكْبَرُ

Mukaddimahnya bisa panjang, juga penutupnya. Hal itu berdasarkan pelajaran yang diperoleh dari kiai atau guru dari santri yang bersangkutan.

Mengenai cara mewiridnya, orang NU biasanya memilih dengan suara keras yang dituntun oleh seorang imam. Imam dapat mengaji santri yang belum hafal dan dilakukan 5 kali setiap hari atau lebih.

Diriwayatkan dari Sahabat Tsauban, berkata, bila usai mengerjakan shalat, Rasulullah SAW membaca istigfar 3 kali
أسْتَغْفِرُاللهَ العَظِيْمِ

lalu membaca:
اللّهُمَّ أنْتَ السَلام وَمِنْكَ السَّلام تَبَارَكْتَ يَاذَا الجَلالِ وَالإكْرَامِ

(HR Muslim)

Hendaknya memang wiridan tidak dibaca terlalu keras jika masih ada yang mengerjakan shalat atau tidur agar tidak mengganggu. Akan tetapi sudah menjadi kebiasaan di pesantren santri yang terlambat melalukan shalat (makmum masbuq) tidak terlalu banyak, dan tetap mengucapkan wirid dengan suara keras akan sangat bermanfaat buat santri yang lainnya.

Para ulama membolehkan imam membaca wirid atau doanya dengan suara keras bila imam bermaksud mengajarkannya kepada para santri atau makmum. (Lihat Mugnî al-Muhtâj I, hal. 182).

Dikisahkan, Sahabat Umar bin Khattab selalu membaca wirid dengan suara lantang, berbeda dengan Sahabat Abu Bakar yang wiridan dengan suara pelan. Suatu ketika nabi menghampiri mereka berdua, dan nabi lalu bersabda: Kalian membaca sesuai dengan yang aku sampaikan. (Lihat al-Fatâwâ al-hadîtsiyah, Ibnu Hajar al-Haitami, hal 56)
KH Munawir Abdul Fatah
Krapyak, Yogyakarta

Sabtu, 23 Mei 2009

Pemimpin Yang Baik Dalam Pandangan Islam

Oleh: Ahmad Syâfi’î SJ, M.SI

Seperti halnya tubuh (organisme) yang terdiri dari beberapa komponen dengan pusat komando dan sentral penggerak, yaitu hati atau akal; demikian pula umat manusia sebagai makhluk sosial, yang selalu mengada bersama dengan orang lain, pun ada sentral komando dan penggeraknya. Simpelnya, Sentral komando itulah “pemimpin” atau “pemerintah” (al-imâm) dalam suatu sistem “kepemimpinan” atau “pemerintahan”( imârah/ imâmah). Betapa penting sentral komando yang bernama hati untuk manusia individual dan pemimpin/pemerintah untuk manusia kolektif ini, Rasulullah pernah bersabda:

“Bahwa dalam diri manusia ada segumpal darah, jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh; sebaliknya jika ia buruk, maka buruklah seluruh tubuh. Ialah hati.”

Demikianlah kedudukan pemimpin atau pemerintah; jika ia baik, maka akan menjadi baiklah seluruh sendi kehidupan masyarakat; sebaliknya, jika ia buruk, maka buruk pulalah seluruh sendi kehidupan masyarakat itu. Oleh karenanya, keberadaan seorang pemimpin yang baik merupakan salah satu prasarat bagi terwujudnya tata kelola kepemerintahan yang baik pula (good governance)

Kriteria Pemimpin yang Baik

Permasalahannya adalah bagaimanakah kualifikasi dan kriteria konkrit dari seorang imam atau pemimpin baik itu?

Sebagai jawabannya, barangkali kita dapat merujuk dan memetik pelajaran (hikmah) dari salah satu ritual dalam Islam, yaitu shalat berjama’ah. Shalat berjama’ah ini merupakan miniatur sistem kepemimpinan dalam kehidupan bermasyarakat. Di sana terdapat seorang imam sebagai pemimpin dan para makmum sebagai orang yang dipimpin. Terkait dengan kriteria sang imam, Nabi Muhammad saw bersabda:

“Orang yang menjadi Imam bagi suatu kaum aialah aoarng yang paling baik bacaan al-Qur’annya. Bila sama-sama baik bacannya, diambil yang paling alim dalam bidang agama. Bila sama-sama alim, dipilih yang lebih dahulu hijrahnya. Bila sama-sama terdahulu dalam berhijrah, maka dipilih yang paling tua umurnya.” (HR. Muslim)

Dengan menangkap dâlalah al-isyârah ar-ramziyyah dari hadis tersebut di atas, kita dapat melihat bahwa setidaknya ada empat kriteria dasar yang dapat kita jadikan acuan dalam memilih dan menetapkan seorang pemimpin. Pertama, pemimpin haruslah seorang yang qualified dan kredibel terhadap apa yang dipimpinnya sebagaimana disimbolkan oleh orang yang paling baik bacaan al-Qur’annya (aqra’uhum likitâbillâh). Kepemimpinan tidak akan berjalan baik manakala dijalankan oleh orang yang tidak ahli dan tidak mengerti permasalahan yang dipimpinnya Dengan kata lain, bahwa seoreang pemimpin hendaklah seorang yang professional. Hal ini penting untuk diperhatikan, mengingat kepemimpinan itu pada hakekatnya adalah amanah yang wajib dijaga dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, agar tidak terjadi penyalahgunaan dan penghianatan, maka prinsip profesionalisme dan kualifikasi lainnya sebagai penerima amanah harus dilakukan secara ketat. Hal ini mengingat firman Allah:

“Salah seorang dari kedua putri Ya’kub berkata: wahai ayahku, pekerjakanlah ia (Musa as), karena sesungguhnya orang yang paling layakdiberi pekerjaan adalah orang yang kuat (professional) dan dapat dipercaya dan dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash: 26).

Ayat di atas dengan tegas menjelaskan pentingnya asas profesionalisme atau kemampuan seseorang secara kualitatif (al-quwwah) dan integritas moral yang luhur (al-amîn) sebagai syarat mutlak dalam merekrut dan memilih pekerja atau pegawai (wakil rakyat). Namun jika asas profesionalisme dalam rekrutmen pegawai (pemilihan pemimpin) hilang, Rasulullah telah mengingatkan akibat buruk yang akan menimpa :

“Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah saatnya (kehancuran). Abu Hurairah bertanya: bagaimana cara amanat disia-siakan wahai Rasulullah? Rasul menjawab: Jika suatu perkara (amanat/pekerjaan) diserahkan kepada orang yang tidak professional, maka tunggulah saat (kehancuran)-nya. (HR. Bukhâri).

Dalam konteks sekarang, salah satu bentuk penyalah gunaan amanat adalah prilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketiganya sangat berpotensi mengabaikan prinsip profesionalisme dan integritas moral.

Kriteria kedua adalah, orang yang alim dalam bidang agama (faa’lamuhum bi as-sunnah). Hal ini diasumsikan dengan orang yang memilki pengetahuan luas (broad knowledge) dan tidak terkungkung dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang berwawasan sempit dan picik akan menimbulkan efek menyengsarakan orang yang dipimpin. Ketiga, orang yang paling dahulu hijrahnya (faaqdamuhum hijratan), dianalogikan sebagai orang yang berani melakukan reformasi. Karena makna hijrah dan makna reformasi sangatlah mirip, yaitu perubahan mendasar dengan tujuan perbaikan dalam masyarakat. Keempat, orang yang paling tua usianya (faaqdamuhum sinnan), diilustrasikan dengan orang yang berpengalaman. Kepemimpinan belum akan sempurna manakala dipimpin oleh orang yang belum berpengalaman.

Kriteria tersebut semakin kaya dengan tambahan syarat, bahwa seorang pemimpin atau imam dalam shalat berjama’ah, tidak boleh berbuat fasik (melakukan dosa besar). Analoginya dalam kepemimpinan masyarakat, bahwa seorang pemimpin tidak boleh melakuan hal-hal yang termasuk dalam kategori merugikan masyarakat, seperti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), dan perbuatan maksiat lainnya. Selanjutnya, ketika shalat berlangsung dan imam melakukan kesalahan, makmum harus mengingatkan dengan cara yang sudah diatur dalam ketentuan shalat. Artinya, pemimpin harus bersedia diingatkan dan tidak kebal kritik. Ketika sang imam mengalami udzur -sakit atau kentut misalnya- maka imam harus digantikan oleh orang yang berada persis di belakangnya. Karena itu, makmum yang berdiri persis di belakang imam haruslah seseorang yang juga memiliki kriteria dan kualitas yang tidak jauh berbeda dengan sang imam. Begitu pula dalam kepemimpinan, kita jangan hanya melihat orang nomor satunya saja, orang keduanya (wakilnya) pun harus memiliki kualitas yang setara.

Walhâsil, sebagai masyarakat yang baik, usaha minimal yang barangkali bisa kita lakukan dalam rangka mewujudkan suatu bentuk tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) adalah dengan menyalurkan dan menggunakan hak pilih kita secara tepat dan benar, yakni dengan memilih calon pemimpin yang baik, adil dan dapat menjadi abdi masyarakat dalam setiap ajang pemilihan, mulai dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan presiden. Diawali dengan memilih calon pemimpin yang baik, diharapkan bangsa kita akan bisa menjadi bangsa yang adil, makmur dan senantiasa dibawah naungan ridla Allah SWT, Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafûr. SEMOGA!

MASAIL

Merusak Nama Baik Seseorang

untuk Kepentingan Politik

Deskripsi masalah:

Banyaknya partai politik yang ada di Indonesia ternyata tidak saja membawa dampak positif bagi bangsa, namun juga membawa dampak negatif. Di antara ekses negatifnya adalah bahwa umat, tokoh, dan ulama'nya menjadi terkapling-kapling (terkotak-kotak) sesuai dengan pilihan partai politiknya. Sehingga, tidak jarang, mereka saling mengolok-ngolok, menjatuhkan dan bahkan menyesatkan partai lain dengan maksud agar mendapat dukungan dan simpati masyarakat terhadap partainya.

Pertanyaan:

Bagaimana hukum mengolok-ngolok, menjatuhkan, mencemarkan nam baik dan bahkan menuduh sesat orang lain yang hanya didasarkan pada perbedaan golongan politik?

Jawab:

Karena di dalam mencemarkan nama baik tidak akan lepas dari mengumpat mencaci maki, dan berbohong (ghîbah, namîmah, kidzib, dan lain-lain), maka hukumnya tidak boleh/ haram, kecuali ada kemanfaatan bagi umat Islam, seperti mencegah dharar; merupakan pembalasan yang sepadan dari umpatan yang diterima, bertujuan memberikan nasihat, tidak tunjuk hidung, maslahah (kebaikan) yang ditimbulkan lebih banyak dan tidak ada jalan lain kecuali dengan berbohong

Dasar pijakan (referensi):

Is'âdur Rafîq, II/ hal. 72, 76-77.

Hâsyiyatul Jamal, IV/ hal. 138.

I'ânatut Thâlibîn, IV/ hal. 153.